Pages

Subscribe:

Selasa, 29 Januari 2013

Persiapan Pernikahan Dalam Islam



Pernikahan bukan hanya tentang pesta dan segala macam hingar-bingarnya. Tidak jarang kita melihat pernikahan itu justru berhenti di tengah jalan. Mengapa? karena segala sesuatu perlu dipersiapkan, apalagi pernikahan yang diharapkan dapat berlangsung sekali seumur hidup..
Islam telah menganjurkan kepada manusia untuk menikah. Karena  ada banyak hikmah di balik anjuran tersebut.
Baginda Rasulullah SAW pernah bersabda:
Barang siapa telah mempunyai kemampuan menikah kemudian ia tidak menikah maka ia bukan termasuk umatku”. (HR Thabrani dan Baihaqi).
Setiap kita pastinya selalu berharap dan bermohon kepada Allah SWT, saatnya nanti akan bertemu dan berjumpa dengan pendamping hidup kita, yang akan menjadi pemimpin atau ratu dalam rumah tangga. Harapan dari pasangan yang akan menuju ke pelaminan, yaitu agar dapat membentuk sebuah keluarga yang bahagia, sakinah mawaddah warrahmah (Samara).
Islam telah menjadikan “pernikahan” sebagai sarana untuk memadu kasih sayang diantara dua jenis manusia. Hanya dengan jalan pernikahan, maka akan lahir keturunan secara terhormat. Karenanya, merupakan hal yang wajar jika pernikahan itu dikatakan sebagai suatu peristiwa yang sangat diharapkan oleh mereka yang ingin menjaga kesucian fitrahnya sebagai manusia.
Tentu saja hal itu tidak akan berjalan dengan baik manakala persiapan menuju pernikahan sangatlah minim kita lakukan. Lalu, apa saja yang harus kita persiapkan menjelang dan menuju pernikahan.
Bagi seorang calon pengantin (pria-wanita) pastinya harus mengetahui pentingnya ibadah pernikahan agar dapat bersanding dengan seorang wanita shalihah atau lelaki shalih dalam sebuah ikatan suci bernama pernikahan.
Pernikahan menuju rumah tangga yang sakinah mawaddah warrahmah (Samara) tidak akan tercipta dan terjadi ‘sim-salabim’ begitu saja, melainkan dibutuhkan persiapan-persiapan secara memadai sebelum seorang muslim dan muslimah melangkah memasuki gerbang pernikahan.
Karena itu, seorang calon pengantin (pria-wanita) minimal harus mengetahui secara mendalam tentang berbagai hal yang berhubungan dengan persiapan-persiapan jelang pernikahan, antara lain:
Pertama, persiapan moral (spiritual), yaitu kematangan visi keislaman. Setiap calon pengantin wanita, pasti punya keinginan, jika suatu hari nanti akan dipinang oleh seorang pria shalih, begitu pula sebaliknya, seorang pria mendambakan bertemu pasangan wanita shalihah.
Seorang pria shalih yang taat beribadah dan dapat diharapkan menjadi pemimpin dalam mengarungi kehidupan di dunia, sebagai bekal dalam menuju akhirat. Begitu pula sebaliknya, seorang pria mendapatkan seorang istri yang shalihah untuk bersama mengarungi bahtera kehidupan ini menuju bahtera akhirat secara bersama.
Bila sang calon pengantin wanita memiliki keinginan untuk mendapatkan seorang suami yang shalih, maka dia harus berupaya agar dirinya menjadi wanita shalihah terlebih dahulu, diantaranya membekali diri dengan ilmu-ilmu agama, hiasi dengan akhlak islami, tujuannya tidak hanya untuk mencari jodoh semata, akan tetapi lebih kepada beribadah untuk mendapatkan ridho Allah SWT. Dan sarana pernikahan adalah sebagai salah satu sarana untuk beribadah pula.
Kedua, persiapan konsepsional, yaitu memahami konsep tentang pernikahan. Pernikahan adalah ajang untuk menambah ibadah dan pahala bukan hanya sekedar hawa nafsu. Pernikahan juga sebagai wadah terciptanya generasi robbani, penerus perjuangan menegakkan dienullah. Adapun dengan lahirnya seorang anak yang shalih/shalihah nantinya, maka akan menjadi penyelamat bagi kedua orang tuanya.
Pernikahan juga sebagai sarana pendidikan sekaligus ladang dakwah. Dengan menikah, maka akan banyak diperoleh pelajaran-pelajaran serta hal-hal yang baru. Selain itu, pernikahan juga menjadi salah satu sarana dalam berdakwah, baik dakwah ke keluarga, maupun ke masyarakat.
Ketiga, persiapan kepribadian sang calon mempelai, yaitu penerimaan adanya seorang pemimpin dan ratu dalam rumah tangga. Seorang wanita muslimah harus faham dan sadar betul, jika menikah nanti akan ada seseorang yang baru sama sekali kita kenal, tetapi langsung menempati posisi sebagai seorang pemimpin kita yang senantiasa harus kita hormati dan taati.
Maka, disinilah nanti salah satu ujian pernikahan itu. Belajar untuk mengenal, bukan untuk dikenal. Seorang pria yang akan menjadi suami kita atau sebaliknya, sesungguhnya adalah orang asing bagi kita, baik latar belakang, suku, adat istiadat, kebiasaan semuanya sangat jauh berbeda dengannya menjadi pemicu timbulnya perbedaan saat memasuki pernikahan.
Dan bila perbedaan tersebut tidak bisa diatur dengan sebaik-baiknya melalui komunikasi dua arah, keterbukaan serta kepercayaan dari pasangan kita, maka bisa jadi timbul persoalan dalam pernikahan dan rumah tangga nantinya. Untuk itu perlu adanya persiapan jiwa yang besar dalam menerima dan berusaha mengenali suami ataupun istri kita.
Keempat, persiapan fisik sang calon pengantin. Persiapan fisik ini ditandai dengan kesehatan tubuh kita yang memadai, sehingga kedua belah pihak akan mampu melaksanakan fungsi diri sebagai suami ataupun isteri secara optimal. Sebelum menikah, jika perlu kita periksakan kesehatan tubuh, terutama faktor yang mempengaruhi masalah reproduksi dan lainnya.
Apakah organ-organ reproduksi dapat berfungsi baik, atau adakah penyakit tertentu yang diderita yang dapat berpengaruh pada kesehatan janin yang kelak di kandungnya. Bila ditemukan penyakit atau kelainan tertentu, segeralah berobat. Begitupula sebaliknya untuk sang calon suami.
Kelima, persiapan harta. Islam tidak menghendaki kita untuk berpikiran secara materialistis, yaitu hidup yang hanya berorientasi pada materi. Namun, bagi seorang calon suami, yang akan mengemban amanah sebagai kepala keluarga, maka diutamakan dan diupayakan adanya kesiapan calon suami untuk menafkahi bagi istri dan keluarganya nanti.
Untuk wanita, diperlukan juga kesiapan untuk mengelola keuangan keluarganya nanti. Insyallah bila suami berikhtiar untuk menafkahi keluarga dengan sebaik-baiknya, maka Allah SWT akan mencukupkan rizki kepadanya.
Dan nikahkanlah orang-orang yang membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan member kemampuan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS An Nur: 32).
Keenam, persiapan sosial. Setelah nanti kedua calon pengantin menikah, maka status sosial di masyarakat pun akan berubah. Mereka berdua bukan lagi seorang gadis dan lajang, tetapi telah berubah menjadi keluarga.
Sehingga mereka juga harus mulai membiasakan diri untuk terlibat dalam kegiatan di kedua belah pihak keluarga atau di masyarakat dengan kegiatan sosial.
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukanNya dengan sesuatu. Dan berbuat baiklah terhadap kedua orang tua, kerabat-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin.” (QS An Nissa: 36)
Semua persiapan ini, tidak begitu saja dapat diraih, melainkan perlu waktu dan proses belajar menuju kesana. Karena itulah, saat kita masih memiliki banyak waktu, dan belum terikat nantinya oleh kesibukan rumah tangga, maka berupaya untuk diri kita menuntut ilmu sebanyak-banyaknya guna persiapan menghadapi rumah tangga yang sakinah mawaddah dan warrahman (Samara) kelak. Wallahu’alam

Islam tak Mengenal Nikah Siri

Sabtu, 15 Desember 2012, 02:00 WIB
kioshukumonline.blogspot.com
Islam tak Mengenal Nikah Siri  
 
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Nikah siri tak pernah dibenarkan dalam hukum Islam. Perilaku nikah siri seperti yang dilakukan Bupati Garut, Aceng Fikri, pada dasarnya hanya bentuk melegalisasi perilaku mengumbar nafsu syahwat dengan berbagai cara.
''Dalam fiqh Islam itu tidak dikenal yang namanya nikah siri,'' kata dai muda asal Bandung, Erick Yusuf, kepada Republika Online.
Erick menjelaskan istilah nikah siri ini sejarahnya muncul ketika zaman khalifah Umar bin Khattab RA. Ketika itu, kata dia, Umar diberitahu bahwa telah terjadi perkawinan yang tidak dihadiri oleh saksi memadai. Mengutip kitab Al-Muwatha, ia mengatakan, Umar tidak memperbolehkan dilakukannya nikah siri serta akan merajam pelakunya.

Lantas Erick juga menyitir pendapat Aisyah RA. Dalam pandangan Aisyah, kata dia, wanita manapun yang menikah tanpa izin wali maka pernikahannya batal.

Erick menjelaskan, pernikahan yang disahkan dalam Islam itu harus sesuai dengan rukun nikah. Di dalamnya meliputi adanya calon suami dan istri, adanya wali pengantin perempuan, adanya 2 saksi yang adil terdiri dari 2 laki-laki atau 1 laki-laki ditambah dua perempuan serta dilakukannya ijab kabul.  ''Itulah syarat wajib nikah namun juga terdapat sunnah nikah yang perlu dilakukan yaitu khotbah nikah, menyebutkan mahar, walimatul urs atau perayaan yang bertujuan untuk tasyakur dan pengumuman pernikahan,'' kata pria yang aktif mengisi salah satu kolom di Republika Online ini.

Mengenai perilaku nikah siri yang dilakukan Aceng, Erick menilai, kasus tersebut pada dasarnya sudah mempermainkan urusan aturan agama. Ia juga mengatakan, sebenarnya tak perlu lagi dibuat aturan khusus mengenai nikah siri. ''Karena sudah jelas-jelas melanggar. Bahkan Umar RA saja ingin merajamnya,'' kata dia.

Namun sebagai pembentuk aturan moral, Erick mengaku, perlu pula dibuatkan aturan. Aturan tersebut, kata dia, diharapkan bisa menjadi rambu untuk membuat pemimpin bisa memberikan teladan.

'Ya mesti dibuat aturan khusus bukan hanya sekedar nikah siri tapi juga aturan moral yang menyeluruh terhadap perilaku lainnya, agar bagaimana para pemimpin menjaga, memperlihatkan sekaligus mencontohkan akhlaq yg baik,''